novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Berempat, kami memikirkan siapa kira-kira yang akan kami usulkan untuk Aba. Kami berprinsip bahwa kami harus mendapatkan orang yang mengetahui latar belakang keluarga kami, yang betul-betul dapat menghormati Ibu yang sudah pulang, juga dapat membuat kami hormat padanya. Dalam pikiran kami, kehadiran seorang pengganti Ibu, bukan sekedar untuk menemani Aba semata, tetapi mestilah dapat merangkum kami semua dengan kasih sayang yang tulus. Karena begitu orang lain menjadi ibu kami, kami harus menaruh hormat padanya layaknya anak pada seorang ibu. Kami ingin menghormatinya tidak sekedar sebagai istri Aba, tetapi dia adalah juga ibu bagi kami. Itu yang ada dalam dalam curah pendapat antara kami, anak-anak Aba. Maka ketika kami telah sepakat untuk siap memiliki ibu baru, pembicaraan kemudian meloncat pada ftgure siapakah yang kiranya cocok dengan Aba dan kami semua, setelah timbang sana, timbang sini, kami telah mendapatkan satu ftgure untuk Aba.

Masalah baru muncul seketika, siapa yang akan menyampaikan usulan ini pada Aba.

Semua mata tertuju pada saya. “Ca ida kan yang tertua, jadi ca Ida yang musti bilang par An-tua.” (“Ca Ida kan anak tertua, jadi Ca ida yang harus menyampaikannya ke beliau.”) Saya tersudut, saya tahu kami semua takut menyampaikan hal ini pada Aba.Kami tidak mau berspekulasi. Semua adik-adik saya menghindar. Mereka memiliki alasan yang kuat dan tidak dapat dibantah, yakni kedudukan saya selaku anak tertualah ya ng harus bertanggung jawab. Apalagi saya yang pertama membuka pembicaraan ini. Kata sepakat telah kami ambil. Saya akan menyampaikan usulan sekaligus dengan figure calon ibu bagi kami.

Saya memilih waktu sarapan pagi untuk menyampaikan usulan kami. Dan ketika dengan suara terbata-bata, karena gugup menghadapi Aba, saya memulainya dengan menceritakan saat-saat bahagia kami bersama Ibu. Saya melihat Aba tersenyum, saya menangkap Aba mulai gembira. Ahai… ini entry yang bagus untuk memulainya.

Dengan mengucapkan bismillahirramanirrahim dalam hati, saya melompat ke pembicaraan lain. Saya dengan suara yang rendah menyampaikan bah wa kami anak-anak sayang sama Aba. Dan takut Aba sakit karena bersedih.
Kami juga takut kehilangan Aba. pokoknya kami ingin Aba senang. Ahai saya menangkap cahaya kehidupan di matanya. Aba menghentikan makannya sejenak, melihat ke mata saya, menyentuh lengan saya, “Beta sayang dong samua, apalagi Ibu su seng ada lai.” (“Saya menyayangi kalian semua, terlebih lagi ketika Ibu sudah berpulang.”) Ah…saya tertegun mendengarnya.

Dengan satu helaan nafas panjang, saya menyampaikan bahwa anak-anak meminta saya menyampaikan apa yang sudah kami rundingkan. Kami juga akan menyiapkan mental untuk itu. “Mangkali katong musti cari Ibu lain par Aba, supaya ada yang hibur Aba.” (“Mungkin sudah saatnya kami mencari pengganti Ibu untuk Aba, biar ada yang menghibur Aba.”)

Ah, akhirnya keluar juga kata-kata yang berat membebani hati saya.

Dalam hitungan detik, ketika kalimat itu sampai ditelinganya dan difahami dengan baik, saya mendapatkan reaksi yang keras. Aba langsung berdiri di depan saya, dan dengan suara yang keras menembus gendang telinga saya aba membentak saya. “Pakai Otak!” Saya memandangnya tidak percaya. Bukankah itu simbol kemarahan yang tinggi?

Membentak di meja makan adalah hal yang tabu dalam kultur kami.Aba telah melanggar kultur kami.Aba telah melanggar apa-apa yang ditanamkan pada kami sejak kecil.

Sesaat saya melihat ke matanya, merah berkilat. Saya kemudian menunduk takut dan pasrah.Dalam hitungan detik, Aba melangkah, melewati saya, masuk kamar dan mengunci pintu dari dalam. Tamatlah saya.

Sehari semalam Aba tidak keluar kamar. Saya menunggu Aba keluar dengan perasaan takut-takut .Pintu kamarnya sudah tidak terkunci. Saya masuk mengajaknya makan malam. Tetapi saya hanya mendapati punggungnya. Aba tidur menghadap dinding. Diam, membeku. Ketakutan dan penyesalan semakin membebani kami.Saya menunggu di depan pintu kamarnya di ashar hari kedua sesudah Aba mendiamkan kami. Bukan hanya mendiamkan, makanan yang saya berikanpun tidak disentuhnya. Aba hanya memakan roti yang dibelinya sendiri. Saya bertekad untuk mengakhiri kediaman Aba hari itu juga. Tidak bisa dibiarkan lagi. Saya sudah sampai pada keputusan harus bertindak mengakhiri perang dingin ini.
Dalam menunggu itu, saya melihat Aba berdiri di pintu kamar, saya melihat ke wajahnya, sudah tidak ada lagi kemarahan, yang tinggal adalah kemuraman yang mendalam. Melihat Aba di depan pintu kamar, saya langsung lompat memeluknya. “Aba, maaf beta juga, katong su seng pung Ibu, jang Aba Uang dari katong. Kalau Aba bagini, katong musti pi mana” (“Aba, maafkan saya, kami semua sudah tidak punya Ibu, janganlah Aba hilang dari kami. Jikalau Aba begini, kemana kami harus pergi.”) Saya merasakan tangan Aba yang besar melingkar di badan saya. Aba mengeratkan dekapannya pada saya. Aba mengangkat wajah saya. Kami bertatapan. Dengan suara pelan tetapi jelas terdengar oleh saya,

“Dengar nak, Ibu taiaiu bar si dan ikhlas untuk beta. Jadi Aba seng bisa ganti dengan orang lain.”
(“Ibu terlalu bersih (menjaga kehormatannya) dan ikhlas untuk saya. Saya tidak mungkin menggantikannya dengan orang lain. Nak.”) Bless…saya menyerah. Mata saya basah. Sebetulnya di sudut hati saya, saya juga tidak menginginkan hal yang serupa.

Saya dan Aba lalu duduk di karpet sederhana kami. Aba menceritakan pada saya bahwa Ibu dan Aba sejak lama “Su seng sama orang muda-muda” (“Tidak seperti pasangan yang masih muda.”)

Bagi Aba, hubungan biologis tidak terlampau penting lagi. Dalam perkawinan ada hal lain yang melebihi itu. Hati Ibu Ica terlalu bersih dan ikhlas untuk Aba. Itu yang mengikat Aba. Apa yang bisa Aba balas untuk semua kebaikan, keilhasan dan kebersihan hati Ibu Ica, menempatkan Ibu saja di hati Aba. “Tidak ada yang melebihi Ibumu, Nak. Kalau Aba sendiri begini, ini juga cara Aba tunjukkan sayang par Ibu sampai kapan pun.”

Saya mengangguk. Aba meraih saya, menyeka yang mengalir, sesaat kemudian Aba mengatakan pada saya.

“Ida, katong tutup pembicaraan ini. Jangan pernah berfikir untuk cari orang lain par Aba. Ibu Ica meskipun su seng ada, su cukup par beta. Jangan ulangi lagi pembicaraan ini.”

(“Ida, kita tutup pembicaraan ini. Jangan pernah berfikir untuk mencari orang lain untuk Aba. Ibu Ica, meskipun sudah berpulang, sudah cukup untuk saya. Jangan ulangi pembicaraan ini.”)

Aba meraih tangan saya, mengecup punggung tangan saya.Saya tahu ini gerakan yang jarang Aba lakukan, mencium tangan saya adalah ungkapan sayang yang mendalam dari Aba, meskipun saya anaknya. Aba memberikan saya senyum kelegaan. Kami terdiam lama sekali, mungkin Aba juga seperti saya, mengenang Ibu Ica yang telah pulang.

Ah. Saya memunguti kenangan ini, ketika kami berdebat keras tentang poligami dalam kelas bahasa Inggris di lantai empat PPB UI. Aba meskipun telah menyusul Ibu, tetapi masih menyisakan penghormatan kami padanya. Saya bangga punya Aba Agil. Kebanggaan itu bertambah, justru ketika Aba Agil sudah tidak bersama kami lagi,lelaki yang sebetulnya dengan status sosial yang dimilikinya di Ambon, mampu beristri lagi, bahkan ketika Ibu masih hidup sekalipun…

Akhir Januari, 2007
(Ida Azuz & Asma Nadia)